Bengkulu- Provinsi Bengkulu mencatatkan angka yang mengkhawatirkan dalam hal perkawinan anak di bawah usia 19 tahun. Data terbaru menempatkan Bengkulu di peringkat ke-5 tertinggi secara nasional dan bahkan tertinggi di kawasan Asia.
Fakta ini diungkapkan anggota DPD-RI Komite III dapil Bengkulu, Destita Khairilisani saat menghadiri pertemuan reguler petugas One Stop Service and Learning (OSSL) dan peningkatan kapasitas tingkat provinsi yang digelar Cahaya Perempuan bersama Forum Komunitas Perempuan Akar Rumput (FKPAR), Jumat (16/5/2025).
Dalam pertemuan tersebut, Senator Destita menyampaikan keprihatinan mendalam atas tingginya angka perkawinan anak yang menurutnya berkaitan erat dengan meningkatnya angka stunting dan persoalan sosial lainnya.
“Terus terang kami prihatin. Disampaikan tadi Bengkulu menempati posisi nomor satu di Asia dan nomor lima di Indonesia. Di Bengkulu sendiri, Kabupaten Seluma mencatat angka tertinggi,” ungkap Destita.
Berdasarkan data Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Bengkulu per 29 Oktober 2024, terdapat 625 kasus perkawinan anak di bawah usia 19 tahun. Dalam kasus ini Kabupaten Seluma mencatat 158 kasus, disusul Bengkulu Utara (104), Kepahiang (79), dan Kota Bengkulu (72).
Ironisnya, meskipun Seluma telah memiliki Peraturan Bupati (Perbub) tentang pencegahan perkawinan anak namun nyatanya angka kejadian tetap tinggi. Senator mendorong adanya sosialisi masif semua pihak dan perubahan kebijakan agar regulasi berjalan efektif.
“Ini membuktikan keberadaan regulasi belum cukup tanpa implementasi serius. Kami di DPD RI akan mendorong penguatan sinergi lintas sektor agar kebijakan bisa berjalan efektif di lapangan,” tegasnya.
Destita juga mengapresiasi adanya regulasi di tingkat provinsi, namun menilai perlu revisi agar lebih aplikatif dan berdampak. Ia berharap momentum revisi ini bisa dimanfaatkan untuk mendorong seluruh kabupaten di Bengkulu agar membuat kebijakan serupa secara kolektif.
“Kalau bisa serentak, atensi dan inisiasi akan lebih kuat. Kita mulai pelan-pelan, karena ini tidak bisa instan. Tapi perjuangan mengurangi perkawinan anak harus dimulai dari sekarang,” imbuhnya.
Senator asal Bengkulu itu juga mengusulkan agar komunitas perempuan dan stakeholder lainnya menyusun roadmap atau milestone dengan target terukur, guna memperkuat advokasi dan memastikan isu ini tetap menjadi perhatian publik.
“Minimal tahun ini harus ada sosialisasi masif. Kita ingin masyarakat sadar bahwa perkawinan anak bukan solusi. Justru menambah masalah, salah satunya adalah stunting,” tutupnya.
Direktur Eksekutif Cahaya Perempuan Bengkulu, Leksi Oktavia, menjelaskan pertemuan ini bertujuan meningkatkan kapasitas kader layanan OSSL yang saat ini berbasis di puskesmas dan berfokus pada pencegahan serta penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan perkawinan usia anak dan usia di bawah 19 tahun.
Leksi menambahkan hingga saat ini baru terdapat empat puskesmas yang menjadi mitra layanan OSSL, yaitu Puskesmas Perumnas dan Sumber Urip di Rejang Lebong, Puskesmas Kelobak di Kepahiang, dan Puskesmas Talang Tinggi di Seluma.
“Harapannya layanan OSSL ini bisa dikembangkan di seluruh puskesmas di Provinsi Bengkulu, agar deteksi dan penanganan kasus kekerasan dan perkawinan anak bisa dilakukan lebih awal,” kata Leksi.
Ia menyebutkan selama pendampingan berlangsung, berbagai kasus telah berhasil teridentifikasi. Di Kepahiang misalnya, tercatat sembilan kasus yang sebelumnya tidak terungkap karena masyarakat menganggap gejala seperti sakit kepala sebagai keluhan biasa, padahal penyebabnya kekerasan dalam rumah tangga.
“Kehadiran Senator Destita dalam pertemuan ini juga sebagai bentuk tindak lanjut dari komitmen politik yang telah dibangun bersama Cahaya Perempuan Bengkulu dan FKPAR saat pencalonannya sebagai anggota DPD RI,” demikian Leksi.