Guru Besar Universitas Bengkulu Identifikasi 19 “Celako Kemali” Suku Serawai Adaptasi Perubahan Iklim

oleh -76 Dilihat
Prof Panji Suminar saat menyampaikan orasi pada acara pengukuhan dirinya sebagai guru besar Universitas Bengkulu (Unib), Selasa 30 September 2025.(Foto HB/Usmin)
Prof Panji Suminar saat menyampaikan orasi pada acara pengukuhan dirinya sebagai guru besar Universitas Bengkulu (Unib), Selasa 30 September 2025.(Foto HB/Usmin)

Bengkulu – Guru Besar Ekologi Manusia, Universitas Bengkulu, Prof. Panji Suminar, menyebutkan terdapat 19 kearifan local Suku Serawai di Bengkulu yang dapat dijadikan dasar pengetahuan modern dalam adaptasi perubahan iklim.

Hal ini dikemukakan Panji Suminar dalam orasi ilmiah pengukuhan guru besar bidang ekologi manusia, berjudul: “Menjaga Bumi, Merawat Pengetahuan: Transformasi Epistemologi Ekologi dalam Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan. Orasi disampaikan di Universitas Bengkulu, Selasa (30/9/2025).

“Krisis ekologis menempatkan kita pada titik balik peradaban. Kerusakan hutan, kerusakan lahan, pencemaran air, dan punahnya keanekaragaman hayati adalah gejala dari kegagalan pembangunan yang menyampingkan kearifan local,” ujar Prof. Panji Suminar dalam orasi ilmiah pengukuhan guru besar bidang ekologi manusia di Universitas Bengkulu, Selasa (30/9/2025).

Fenomena ini bukan hanya masalah teknis atau lingkungan, tetapi juga krisis etika dan peradaban. Dalam konteks ini, indigenous ecological knowledge (IEK) atau pengetahuan lokal masyarakat adat muncul bukan sebagai warisan masa lalu semata, tetapi sebagai sumber daya pengetahuan yang relevan dalam mendesain masa depan lingkungan yang berkelanjutan.

Menurutnya, 19 bentuk kearifan local Suku Serawai itu berhasil ia identifikasi dinamakan “Celako Kemali”. Celako Kemali merupakan sistem norma dan nilai yang menjadi pedoman dalam praktik pertanian dan perkebunan pada Etnis Serawai. Sistem ini di dalamnya menyangkut tabu dan larangan yang dibagi ke dalam bentuk sanksi.

“Dari 19 celako kemali itu, tiga celako kemali telah punah karena situasi luasan lahan. lima masih digunakan tetapi termodifikasi dan 11 masih diterapkan sepenuhnya,” kata Panji Suminar.

Tiga celako kemali punah, ia identifikasi yakni,”Kijang Ngulang Tai” yang artinya petani hanya dibolehkan mengelola tanah pertanian hanya satu tahun sekali. Ini dilakukan agar tanah setelah dimanfaatkan dapat Kembali subur.

“Namun kemali ini punah karena terbatasnya lahan garapan dan mulai padatnya penduduk,” jelasnya. “Sepenetaan akaqh kayu atau sepenggorengan arang”, ini mengartikan; Dilarang menebang pohon di lereng bukit, sementara di lembah terdapat persawahan.

“Umo tekeno tana tigo atau bukit tiga gunung sembilan”, mengartikan; Tidak diperbolehkan membuka hutan di lembah yang dikelilingi tiga bukit untuk kegiatan pertanian.

Selanjutnya lima celako kemali yang masih digunakan namun dimodifikasi yakni, “Manggang tetugu”, mengartikan; tidak diperbolehkan menebang hutan yang berbatasan dengan tanah tangker.”Tanah penyakitan atau tana angker”, mengartikan; tidak boleh membuka lahan pertanian di daerah yang merupakan tempat tinggal roh leluhur.

“Binti meretas tanjung”, mengartikan; tidak boleh membuka lahan di delta sungai meskipun tanahnya sangat subur. “Tanam tungku buisi”, mengartikan; tidak diperbolehkan membuka hutan untuk kegiatan pertanian di sekitar lokasi yang dianggap sebagai tempat tinggal roh halus.

“Bemban teralai:, mengartikan; seseorang tidak boleh menebang hutan di lereng bukit ketika sungai mengalir di lembah. Lima aturan ini sudah dimodifikasi dengan upacara adat atau leluhur<‘ tukasnya.

Adapun 11 celako kemali yang masih diterapkan sepenuhnya yakni, “Kijang melumpat”, mengartikan; tata kelola membuka lahan dan sawah. “Tanah siboan”, mengartikan; tidak diperkenankan mengelola lahan pertanian di makam leluhur atau tempat ritual adat.

“Merabung bumi atau pematang kuburan’, mengartikan; seseorang dilarang membuka lahan untuk bercocok tanam jika lahan tersebut diapit oleh dua sungai atau anak sungai. “Setabua gendang”, mengartikan; larangan menebang hutan di hulu sungai.

“Ulu tulung betangisan”, mengartikan; dilarang membuka lahan di lereng yang terdapat dua mata air yang mengalir berlawanan arah. “Sepelansaran mayat”, mengartikan; jika seseorang menanam padi di setengah bagian lereng bukit pada tahun tertentu, maka setengah bagian sisanya dilarang ditanami pada tahun berikutnya.

“Sepelintasan perau atau mengakipitka aiak”, mengartikan; dilarang membuka lahan pertanian di sisi kiri dan kanan sungai. Lahan pertanian hanya boleh dibuka di satu sisi sungai. “Elang setepak atau ncapkkah tunggul rokok sampai ke sawah”, mengartikan; Pembukaan lahan di daerah perbukitan dilarang, sedangkan di daerah lembah masih bisa ditemukan persawahan.

“Tikam luang atau nengakah ulu tulung buntu”, mengartikan; dilarang keras membersihkan lahan pertanian di hulu sungai atau di dekat mata air. “Segelibak bangkai atau sebaliak badan”. mengartikan; tata Kelola pertanian di perbukitan.

“Macan merunggu”, mengartikan; dilarang membuka areal persawahan yang ditumbuhi pepohonan lebat dan sering dijadikan sarang harimau atau tempat tinggal arwah. “Celako kemali sejatinya berisikan pesan keseimbangan ekologis dalam pengelolaan sumber daya alam. Ini merupakan pengetahuan yang seharusnya wajib dijadikan pertimbangan setiap pembangunan di Bengkulu,” demikian Panji.

Suku Serawai merupakan salah satu suku besar di Bengkulu. Mereka hidup di Kabupaten Seluma, Bengkulu Selatan, lalu . menyebar ke luar wilayah untuk berkebun

 

Editor :  Usmin

.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.