Ribuan Hektare Wilayah Adat di Bengkulu Alami Konflik

oleh -16 Dilihat
Masyarakat Adat Bengkulu memprotes sebagian besar tanah adat yang ada di daerah ini mengalami konflik, akibatnya mereka kesulitan untuk menggarap lahan pertanian untuk menyambung hidup.(Foto/Ist)
Masyarakat Adat Bengkulu memprotes sebagian besar tanah adat yang ada di daerah ini mengalami konflik, akibatnya mereka kesulitan untuk menggarap lahan pertanian untuk menyambung hidup.(Foto/Ist)

Bengkulu- Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu menyebutkan sepanjang tahun 2025 sebanyak 202,89 ribu hektare wilayah adat milik komunitas adat di Provinsi Bengkulu mengalami konflik dengan sektor kawasan hutan negara, perkebunan dan pertambangan.

“Konflik wilayah adat ini menyebar di seluruh Provinsi Bengkulu, dan sektor kawasan hutan negara menjadi penyebab konflik paling besar,” kata Ketua AMAN Wilayah Bengkulu Fahmi Arisandi, di Bengkulu, Senin (29/12/2025).

Fahmi menjelaskan secara rinci, jumlah luasan konflik wilayah adat dengan kawasan hutan yang diklaim milik negara mencapai 143.108 hektare, lalu sektor pertambangan dengan luasan konflik mencapai 38,93 ribu hektare dan sektor perkebunan yang mencapai 20,86 ribu hektare. “Ada 56 komunitas masyarakat adat yang sedang berkonflik dengan tiga sektor ini,” kata Fahmi.

Tingginya angka konflik yang bersentuhan dengan kawasan hutan yang diklaim milik negara, katanya situasi ini bermula dari buruknya tata kelola kebijakan penetapan kawasan hutan oleh negara yang sudah dahulu menetapkan status hutan tanpa melibatkan komunitas adat yang sudah lebih dahulu menetap dan beraktivitas di kawasan hutan.

Ia mencontohkan salah satunya terjadi di komunitas adat Sungai Lisai yang ada di Kabupaten Lebong. Diketahui, komunitas ini sudah sejak lampau memiliki pengetahuan terkait wilayah adat mereka yang kini dikenal dengan nama kampung Sungai Lisai, berdasarkan catatan para leluhur mereka.

Atas dasar itu, komunitas ini kemudian memilih bermukim di kampung Sungai Lisai jauh sebelum negara menetapkan wilayah tersebut sebagai kawasan hutan. Mereka telah mengelola serta menjaga hutan milik mereka dengan kearifan serta menanam padi Riun yang menjadi amanah para leluhur mereka.

Namun celakanya, kampung ini malah dianggap masuk kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Bayangkan, kini dapur, ruang tamu, kamar tidur mereka malah dianggap milik TNKS. Tidak  hanya itu, kata Fahmi layanan dasar yang seharusnya menjadi kewajiban negara seperti pendidikan, kesehatan, akses jalan yang layak tidak dapat mereka nikmati sebagaimana mestinya.

“Apabila ada orang atau  warga Lisai sakit dan harus dirujuk mereka harus ditandu untuk sampai ke fasilitas kesehatan terdekat di Kecamatan Pinang Belapis. Ini kan menyedihkan,” kata Fahmi. Di lain sisi, AMAN juga menyoroti sepanjang tahun 2025, Pemerintah Daerah di Bengkulu masih belum menunjukkan arah kebijakan mereka pada keberpihakan terhadap nasib masyarakat adat.

Padahal, kata Fahmi, sejak penetapan sejumlah kepala daerah baru hasil pemilihan kepala daerah di Bengkulu pada awal tahun 2025, harusnya bisa memberi konstruksi kebijakan yang lebih memberi ruang kepada masyarakat adat.

Ia mengingat bagaimana isu masyarakat adat dan kearifan lokal, ikut menjadi titik penting agar menjadi perhatian para calon kepala daerah ketika menjadi salah satu bahasan dalam debat publik terbuka untuk para calon kepala daerah.

“Tapi faktanya, sampai akhir tahun 2025. Tidak ada kebijakan atau arah program yang mengarah pada masyarakat adat di Bengkulu,” kata Fahmi.

Atas itu, Fahmi berharap, pada tahun 2026, sedianya para kepala daerah di Bengkulu mulai memunculkan sikap dan arah kebijakan mereka terhadap isu masyarakat adat.

Sebab, dengan tingginya ancaman konflik pada komunitas adat di Bengkulu ditambah lagi secara nasional, negara juga sudah berkomitmen untuk mengembalikan 1,4 juta hektare hutan adat milik masyarakat adat di seluruh Indonesia.

Maka dibutuhkan keselarasan dan perspektif kebijakan yang memang memberi ruang serius untuk isu masyarakat adat di Bengkulu. “Pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di Bengkulu adalah amanah konstitusi dan menjadi mandat bagi para kepala daerah. Jadi, jalankan dan tunaikan,” demikian Fahmi Arisandi.

 

Editor : Usmin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.