Jakarta-Pascapenembakan lima orang petani Pino Raya, Kabupaten Bengkulu Selatan, Provibsi Bengkulu oleh pihak Keamanan PT Agro Bengkulu Selatan (ABS), Kepolisian Resor Bengkulu Selatan membuat laporan polisi, namun selain membuat laporan terkait dengan penembakan petani Pino Raya, Polres Bengkulu Selatan juga membuat laporan terkait dengan penganiayaan pihak keamanan PT ABS.
Sebelumnya pihak petani lewat kuasa hukumnya juga membuat laporan polisi dan meminta untuk memasukkan pasal mengenai dugaan tindak pidana penganiayaan berat, tindak pidana percobaan pembunuhan serta dugaan tindak pidana menguasai dan mempergunakan senjata api tanpa hak.
Namun, pihak petugas penerima laporan dan penyidik mempreteli pasal-pasal yang diajukan oleh kuasa hukum dan hanya menulis dugaan tindak pidana penganiayaan dengan berbagai alasan, seperti kesalahan sistem pada komputer yang tidak dapat memuat pasal yang dilaporkan, meminta untuk laporan senjata api dilakukan melalui laporan model A hingga mengarahkan untuk hanya melaporkan satu pasal.
Dalam prosesnya, laporan polisi hanya dimuat dua pasal yakni Pasal 351 ayat (2) KUHP dan Pasal 1 ayat (1) UU Darurat. Akan tetapi, ternyata pada saat penyelidikan hanya menjadi satu pasal, yakni pasal 351 ayat (2) yang menyebabkan pelapor kehilangan hak untuk mengikuti perkembangan pasal yang dilaporkan mengenai penyalahgunaan senjata api.
Pasalnya, dijadikan laporan model A, karena pemberitahuan perkembangan penyidikan hanya diberikan kepada pelapor, dan jika laporan dibuat dengan model A dengan pelapornya polisi, maka perkembangan penyidikan tidak akan diberitahukan kepada Pelapor atau Korban.
Terima Intimidasi
Mengenai hal ini kuasa hukum telah menyampaikan surat keberatan mengenai penerapan pasal tersebut, namun hingga saat ini belum mendapatkan jawaban secara resmi dengan dalih surat masih berapa di meja Kapolres Bengkulu Selatan.
Menyikapi situasi tersebut, perwakilan petani Pino Raya, Edi Hermanto, korban Penembakan sekaligus Perwakilan Forum Masyarakat Pino Raya (FMPR) menjelaskan, pihaknya telah menerima banyak intimidasi baik dari Pihak Perusahaan, Aparat Penegak Hukum (APH).
Bahkan, pemerintah kecamatan dan pemerintah kabupaten. Oleh karenanya, pihaknya meminta untuk konflik agraria ini segera diselesaikan dan penanganan perkara penembakan terhadap kami dan 4 orang petani lainnya segera diusut demi kepastian dan keadilan bagi mereka.
Edi meminta menambahkan, pihaknya juga meminta perlindungan dan jaminan rasa aman bagi kami agar kembali bisa beraktivitas sebagaimana mestinya, serta bisa mengakses lahan kami dengan aman.
Ricki Pratama Putra, Akar Law Office sebagai kuasa hukum menyatakan, sepanjang proses penyidikan pihaknya menemukan banyak pelanggaran prosedur, disiplin dan kode etik. Pada saat saksi-saksi dipanggil untuk diperiksa, pihaknya kami menemukan anggota Polres Bengkulu Selatan sedang mengkonsumsi tradisional diduga tuak, dan pada saat pemeriksaan saksi-saski suara musik di dalam ruangan ditinggikan, sehingga membuat pemeriksaan saksi-saksi terganggu, terutama mengenai kenyamanan dan keamanan.
Ricki menjelaskan, dalam proses penanganannya, berdasarkan informasi yang kami dapat dari pihak rumah sakit, Polres Bengkulu Selatan tidak mengambil hasil visum et repertum para korban khususnya yang ditembak, namun hanya mengambil visum terkait dengan laporan perusahaan terkait dengan dugaan penganiayaan pelaku penembakan, sehingga kami menduga bahwa ada upaya kriminalisasi terhadap para korban penembakan oleh Polres Bengkulu Selatan.
Menyikapi situasi pelanggaran-pelanggaran dan potensi kriminalisasi masyarakat, Julius Nainggolan, WALHI Bengkulu menyampaikan, para Petani akhirnya menyampaikan laporan dan pengaduan ke Kompolnas, LPSK, Kementerian HAM, dan Komnas HAM untuk meminta lembaga-lembaga tersebut, melakukan pengawasan dan pemantauan serta memberikan perlindungan kepada para petani pino raya termasuk yang menjadi korban penembakan.
Julius mengatakan, setelah kejadian penembakan, telah diadakan rapat beberapa pihak dari Pemerintah Provinsi dan Kabupaten, dalam kesepakatannya PT ABS ditutup sementara, namun berdasarkan informasi yang kami terima, perusahaan tetap beroperasi dan membangkang terhadap kesepakatan pemerintah provinsi dan kabupaten.
Selain itu, sebelum kejadian penembakan beberapa kali teror terus dialami oleh petani Pino Raya, seperti ancaman pembunuhan dan pelecehan seksual verbal. Teror tersebut dilaporkan ke Polres Bengkulu Selatan, namun sampai sekarang tidak ada perkembangan yang signifikan,” ujar Julius dalam keterangan tertulisnya yang disampaikan ke HARAPAN BARU NEWS, Jumat (12/12/2025).
Diduga Beroperasi Ilegal
Dijelaskan Julius, PT ABS mulai beroperasi sejak 2017 hingga 2025 diduga ilegal, karena tidak ada HGU berdasarkan keterangan Kanwil ATR/BPN, HGU baru diterbitkan pada 2025, sehingga selama kurang lebih 8 tahun tersebut negara mengalami kerugian perekonomian, dan kuat dugaan campur tangan pemerintah mulai dari desa sampai ke pusat dalam mem-back up perusahaan.
Dalam hal ini, Walhi Bengkulu melaporkan PT ABS ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal senada diungkapkan Andrie Yunus. Kontras menyatakan pihaknya mengecam peristiwa penembakan dan aksi kekerasan terhadap petani Pino, Bengkulu Selatan, yang dilakukan oleh Satpam PT ABS.
Pihak kepolisian sebagai institusi yang diberikan kewenangan pengendalian hingga pengawasan terhadap senjata api harus akuntabel dalam mengusut kasus ini melalui proses penyidikan yang tidak berhenti menyeret aktor lapangan, namun juga termasuk para pimpinan perusahaan dan satker kepolisian yang memberikan izin.
Disisi lain, kami juga menyoroti kinerja Polres Bengkulu Selatan yang diduga tidak profesional dalam melakukan proses hukum dan terkesan diskriminatif terhadap laporan para petani yang menjadi korban.
Oleh karena itu, pihaknya menuntut Divisi Propam dan Rowassidik Bareskrim Mabes Polri untuk melakukan pengawasan ekstra terhadap proses penyidikan yang tengah berlangsung, termasuk mendorong pengambilalihan penanganan kasus dari Polres Bengkulu Selatan ke Polda Bengkulu untuk menetapkan tersangka sesegera mungkin.
KPA Kutuk Keras
Roni Septian, Kepala Departemen Advokasi Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengutuk keras penembakan petugas PT ABS kepada para petani Pino Raya.
Dari konflik agraria di Pino Raya, pemerintah seharusnya berbenah, menteri ATR harus berani bertanggungjawab membatalkan HGU perusahaan yang dikeluarkan secara melawan hukum. Hanya dengan cara ini keadilan hak atas tanah petani dapat dipulihkan, kata Roni.
Ia menambahkan, pihak lain yang paling bertanggungjawab adalah menteri pertanian dan pemda karena dengan sadar membiarkan pengusaha sawit beroperasi tanpa legalitas.
Dalam satu dekade terakhir ekspansi bisnis perkebunan sudah menyebabkan 1.242 perampasan tanah, mayoritasnya adalah sawit. Sehingga tidak ada lagi alasan untuk menunda pelaksanaan RA. DPR, Kabinet Merah Putih dan KPA sudah bersepakat agar negara segera membentuk Badan Pelaksana Reforma Agraria.
Uli Arta Siagian, Kepala Divisi Kampanye Walhi Nasional mengatakan, perjuangan yang dilakukan oleh petani yang tergabung dalam Forum Masyarakat Pino Raya bukan hanya perjuangan hak atas tanah, tetapi juga hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Mereka sadar keberadaan perusahaan sawit bukan hanya akan merampas hak mereka, tetapi juga hak lingkungan untuk tetap terjaga. Sebab, ekspansi sawit dalam skala yang besar akan berdampak pada rusaknya lingkungan, hilangnya hutan dan bencana ekologis.
“Jika pengurus negara mau belajar dari bencana ekologis di Aceh, Sumut dan Sumbar, harusnya HGU PT ABS segera dicabut, dan memproses dugaan pidana serta korupsi yang dilakukan perusahaan,” ujarnya.
Relis : Walhi Bengkulu
Editor : Usmin








