Enggono Krisis Ekonomi, Bertahan Hidup Warga Lakukan Barter

oleh -8 Dilihat
Pesawat petintid Susi Air mendarat di Bandara Enggano dari Bengkulu. Sejak pelabuhan Pulau Baai alami pengdangkalan transportasi laut dari dan ke daerah ini lumpuh, akibatnya pasokan sembako dan BBM terputus.(Foto/Ist)
Pesawat petintid Susi Air mendarat di Bandara Enggano dari Bengkulu. Sejak pelabuhan Pulau Baai alami pengdangkalan transportasi laut dari dan ke daerah ini lumpuh, akibatnya pasokan sembako dan BBM terputus.(Foto/Ist)

Bengkulu-Krisis melanda Pulau Enggano, di Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu masih berlanjut. Kini, lebih dari 4.000 jiwa di pulau yang berada di Samudera Hindia ini hidup dalam keputusasaan.

Paabuki Enggano, Milson Kaittarauora mengatakan, kondisi memprihatinkan di Enggano terjadi sebagai dampak belum beroperasinya kapal yang bisa mengangkut hasil bumi milik warganya.

“Kehidupan ekonomi di sini boleh dibilang lumpuh. Warung-warung sepi, rumah makan bahkan ada yang tutup. Tidak ada orang berbelanja, karena tidak ada uang,” kata pimpinan kepala suku di Enggano ini, Rabu, 18 Juni 2025 dalam temu kampung bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Bengkulu di Malakoni.

Menurutnya, khusus untuk layanan transportasi laut bagi penumpang sejauh ini sudah cukup melegakan. Meski baru berfungsi sepekan ini. Kapal Ferry Pulo Tello yang bersandar ke Enggano sudah bisa membawa orang. “Meski harus turun di tengah laut kalau ke kota, tapi cukuplah. Tapi bagaimana hidup kami di sini, ini yang tidak diperhatikan pemerintah,” katanya.

Mulyadi Kauno, Ketua Pengurus Daerah AMAN Enggano menambahkan. Saat ini, para petani yang memiliki uang terpaksa harus merogoh kocek mereka mulai dari Rp18 juta-Rp20 juta hanya untuk menyewa kapal nelayan untuk mengirimkan hasil panen mereka utamanya pisang.

Sementara, bagi yang tak memiliki biaya. Harus rela merelakan hasil panen mereka membusuk di pohon. “Tidak ada yang mau panen, karena untuk apa. Hasilnya tidak bisa dijual,” kata Mulyadi.

Yang mengenaskannya lagi, lanjut Mulyadi, meski kapal nelayan bisa membawa dalam jumlah terbatas yakni maksimal 20 ton. Namun, harga yang dibeli oleh para tauke pisang, ditekan hingga 60 persen. “Jadi sama saja sebenarnya. Tidak dapat uang juga. Potongan harga itu, untuk menutupi biaya operasional kapal,” kata Mulyadi.

Barter dan Menganggur

Sejak, lumpuhnya kondisi ekonomi di Pulau Enggano. Warga yang membutuhkan kebutuhan harian seperti beras, minyak goreng, gula pasir dan lain-lain. Kini mengandalkan praktik barter dengan sesama warga.

“Ikan segenceng (1,5 kilogram) kami tukar ke beras 1 kilogram. Karena tidak ada uang, mau belanja pakai apa?,” kata Rahmawati, ibu rumah tangga di Desa Malakoni.

Situasi itu, lanjutnya, memaksa para ibu di Enggano harus berhemat untuk menggunakan kebutuhan rumah tangga. Bahkan, kata Rahmawati, kini ada sejumlah kepala keluarga yang terpaksa berutang di warung kecil untuk memenuhi kebutuhan harian mereka,

“Seorang kawan bahkan ada yang sudah utang sampai Rp4 juta untuk memenuhi kebutuhannya selama berapa bulan ini,” katanya.

Iwan, warga dari Meok mengaku karena hasil kebunnya tidak bisa dijual. Kini, ia menganggur. Kondisi itu pun menimpa hampir sebagian besar kepala keluarga yang mengandalkan pendapatan dari hasil kebun mulai dari Pisang, Kopi, Kakau, Pinang, Jantung Pisang, Daun Pisang, Melinjo, dan lainnya.

“Ada yang jadi kuli bangunan. Saya sekarang, jadi upahan proyek. Biar ada uang. Karena ini untuk anak dan istri,” kata Iwan.

Tak cuma itu, Iwan yang anaknya sedang berkuliah di salah satu kampus di Bengkulu, mengaku sudah kesulitan untuk mengirimkan biaya harian bagi anaknya di Kota Bengkulu. “Anak saya itu biasanya kami kirim Rp300 ribu dua minggu sekali. Tapi kini, sudah tak bisa. Saya minta anak saya berhemat betul,” katanya dengan wajah lirih.

Bukti Gagalnya Pemda

Ketua AMAN Wilayah Bengkulu, Fahmi Arisandi menilai, kondisi memprihatinkan yang dialami oleh warga di Enggano menjadi bukti bahwa pemerintah daerah di Bengkulu telah mengabaikan nasib orang Enggano.

Sementara, dalam klaim dan narasi yang tersampaikan ke publik. Pemerintah selalu menyatakan bahwa mereka hadir dan peduli untuk Enggano. “Betul kirim beras, tapi apakah itu bisa bertahan? Nyatanya tidak. Di sini, sesungguhnya seluruh barang tersedia. Namun mau pakai apa, kalau uang tidak ada,” kata Fahmi.

Dalam pertemuan yang digelar AMAN bersama seluruh pimpinan kepala suku di Enggano. Kebutuhan utama Enggano saat ini untuk menghidupkan kembali ekonomi lokal. Hanya cukup menyediakan kebutuhan kapal yang cukup untuk membawa hasil bumi.

“Hitungan mereka, cukup 10 kapal setiap keberangkatan. Jadi bisa menampung semua hasil pertanian. Pemerintah pasti punya kuasa ini, kami pikir. Inilah yang harusnya dilakukan dari kemarin,” kata Fahmi.

Hasil pertanian di Enggano, lanjut Fahmi, selama ini hanya disebutkan soal pisang. Padahal, banyak sekali hasil lain yang menjadi penunjang hidup warga. “Hitungan kami, total ada Rp1,8 miliar per bulan uang dari hasil pertanian yang hilang saat ini gara-gara tidak terbawa kapal. Dan angka ini, bukan cuma dari pisang. Ada yang lain, seperti kepala, kakau, pinang, melinjo dan lain-lain,” kata Fahmi.

Atas itu, AMAN dan seluruh masyarakat adat di Enggano. Mendesak pertanggungjawaban dari pemerintah daerah untuk menyelesaikan situasi itu. Ia menekankan, agar ada langkah strategis untuk menyediakan kebutuhan kapal angkut yang bisa membawa hasil bumi dari Enggano. Dengan begitu, situas ekonomi di Enggano bisa kembali normal.

“Soal biaya, kan bisa disubsidi dari pemerintah. Kan selama ini, klaimnya ada miliaran terus. Tinggal lagi, ada iktikad tidak pemerintah daerah soal Enggano. Krisis ini tidak bisa ditutupi dengan citra. Faktanya, Enggano hari ini mengenaskan,” kata Fahmi.

Editor : Usmin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.