Tiga Tahun Terakhir Terjadi  16 Kasus Gangguan Usaha dan Konflik Perkebunan di Bengkulu

oleh -11 Dilihat
Gubernur dan Wagub Bengkulu, Helmi Hasan dan Mian pimpin rakor atasi konplik Agraria di Bengkulu dengan berbagai pihak terkait di daerah ini.(Foto/Ist)
Gubernur dan Wagub Bengkulu, Helmi Hasan dan Mian pimpin rakor atasi konplik Agraria di Bengkulu dengan berbagai pihak terkait di daerah ini.(Foto/Ist)

Bengkulu-Konflik Agraria terus menjadi isu kompleks yang melibatkan sektor pertanian, permukiman, dan pengelolaan sumber daya alam. Sepanjang tahun 2023-2025, Dinas Tanaman Pangan, Holtikultura dan Perkebuna (TPHP) Provinsi Bengklu mencatat telah terjadi 16 kasus Gangguan Usahan dan Konflik Perkebunan di provinsi ini.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bengkulu melalui Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) menegaskan pentingnya komunikasi intensif dan sinergi semua pihak, mulai dari masyarakat, perusahaan, pemerintah, hingga penegak hukum.

Hal ini disampaikan Gubernur Bengkulu Helmi Hasan didampingi Wakil Gubernur Mian saat rapat koordinasi pembahasan Reforma Agraria, di Kantor Gubernur Bengkulu, Rabu (24/9/2025). Helmi menekankan bahwa GTRA harus proaktif menampung aspirasi dan merangkul masyarakat untuk mencegah konflik agraria.

“Biasakan dialog karena orang demo itu tidak ada salurannya. Jadi, harus kita buka dulu, kita undang mereka. Pemerintah yang proaktif, terutama gugus tugas Reforma Agraria. Jangan menunggu suara masyarakat teriak dulu baru kita tampung,” ujarnya.

Di gugus tugas ini, kata Helmi Hasan semua unsur sudah lengkap, ada pemerintah, kejaksaan, kepolisian, BPN, dan lainnya. “Jika ada indikasi bakal ada konflik, segera rembuk bersama untuk mencari solusinya,” tambah Helmi.

Dalam rapat tersebut, terungkap bahwa sepanjang 2023–2025 terdapat 16 kasus Gangguan Usaha dan Konflik Perkebunan (GUKP) yang tercatat di Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan (TPHP) Provinsi Bengkulu.

Beberapa di antaranya telah berhasil diselesaikan di tingkat provinsi maupun kabupaten. Kasus-kasus konflik agraria di Bengkulu mencakup okupasi lahan oleh masyarakat, yakni tindakan pendudukan tanah secara fisik tanpa kepemilikan sah, penolakan terhadap pembangunan perkebunan kelapa sawit, dan tumpang tindih lahan.

Selain itu, penelantaran lahan oleh perusahaan, komplain penggantian komoditas, perusahaan yang belum memiliki HGU, pencurian tandan buah segar (TBS) dan getah karet, serta tuntutan pembangunan plasma masyarakat.

Sementara itu, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bengkulu, Indera Imanuddin menjelaskan, penetapan status tanah terlantar sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 membutuhkan waktu hingga 587 hari.

“Proses evaluasi untuk menetapkan suatu lahan itu terlantar waktunya selama 587 hari. Setelah mendapatkan hak atas tanah, baik hak guna bangunan maupun hak guna usaha, jika dalam dua tahun tidak dimanfaatkan dan didayagunakan, pemerintah dapat menetapkan tanah tersebut menjadi objek tanah terlantar,” terang Indera.

Rapat tersebut turut dihadiri Ketua DPRD Provinsi Bengkulu Sumardi, Wakil Ketua I DPRD Teuku Zulkarnain, Kajati Bengkulu Victor Antonius Saragih Sidabutar, Wakapolda Bengkulu Brigjen Pol Dicky Sondani, serta tim GTRA lainnya.

Pemerintah Provinsi Bengkulu berharap langkah koordinasi ini dapat mempererat komunikasi dengan masyarakat sekaligus meminimalkan potensi konflik agraria di daerah.

Editor : Usmin

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.