BENGKULU- Debur ombak laut menghantam tepian pantai menyisakan buih putih di Objek Wisata Batu Jung, Desa Way Hawang, Kecamatan Maje, Kabupaten Kaur, Provinsi Bengkulu. Barisan pohon cemara tertata indah, sekelompok remaja serta beberapa pasang kekasih terlibat dalam obrolan santai ditingkahi tawa lepas.
Sementara di sisi berdekatan, ombak laut mengantarkan satu sampan nelayan mendarat membawa hasil laut yang tak seberapa. Beberapa orang keluarga nelayan bergotongroyong menarik sampan ke daratan. Tiga orang nelayan menghempaskan pantat duduk di pasir yang memutih menatap ke laut lepas.
“Beginilah, hasil tangkapan tak membaik. Ikan terus berkurang, kami harus ke tengah laut,” ujar seorang nelayan berkaus tangan Panjang merah. Sejak 10 tahun terakhir ikan tepi mulai ke tengah. Dahulu ikan layur mudah didapat di tepi pantai, sekarang layur jauh berada di tengah laut. Pantai semakin kotor dan beracun.
“Tambak udang yang berjejer di pesisir pantai Kabupaten Kaur telah membunuh matapencarian kami sebagai nelayan,” ungkap nelayan itu. Awalnya ketiga nelayan tersebut bersedia menyebutkan namanya namun saat wawancara dikhususkan dampak tambak udang yang merugikan nelayan ketiga nelayan itu meminta identitas mereka tak dituliskan.
“Jangan tulis nama kami, nanti kami akan ceritakan semua terkait dampak buruk tambak udang terhadap nelayan,” ujarnya mewanti-wanti. Ketiga nelayan itu menjelaskan tambak udang di wilayahnya sering membuang limbah ke laut. Saat limbah dibuang ke laut air sungai dan laut menjadi hitam, berbau busuk serta gatal apabila terkena tubuh.
“Mereka sering buang limbah ke laut dan sungai. Air limbah berwarna hitam seperti oli bekas. Saat tambak buang limbah ke sungai dan laut akan banyak ditemukan ikan sungai mati, dari sungai lalu mengalir ke laut. Bau busuk menyengat hingga ke pemukiman penduduk,” keluhnya.
Seringnya perusahaan tambak udang membuang limbah selain membunuh ikan di sungai juga mengakibatkan ikan yang hidup di tepi pantai ke tengah. “Karena ikan banyak ke tengah akibat tepi pantai telah penuh limbah maka kami nelayan harus ke tengah mencari ikan. Hal ini akibatkan biaya operasional menjadi tinggi, butuh bahan bakar lebih banyak. itu juga belum tentu mendapatkan ikan,” jelasnya.
Tak hanya berkurangnya pendapatan nelayan, keluhan akibat beroperasinya tambak udang warga mengeluhkan meningkatnya jumlah nyamuk. “Di siang hari dan malam nyamuk bertambah. Sebelum ada tambak udang nyamuk tidak ada,” jelas nelayan lainnya.
Selain itu kerusakan atap rumah warga yang berbahan seng juga terjadi sejak tambak beroperasi. “Tambak udang mendekatkan air laut ke pemukiman warga akibatnya pengeroposan seng atau atap rumah penduduk sangat cepat,” ujarnya.
Sumur Warga Mubazir
sa Pengubaian, Kecamatan Kaur Selatan, Kabupaten Kaur, Bengkulu, dampak tambak udang juga dirasakan warga. Sumur warga yang dahulu digunakan sebagai sarana Mandi Cuci Kakus (MCK) dan minum saat ini tidak berfungsi. Air sumur telah bercampur dengan air laut terasa payau.
“Sebagai bukti sumur rumah saya terasa payau, air laut telah masuk ke sumur. Akibatnya sumur tidak lagi kami gunakan beruntung ada PDAM,” ungkap seorang warga Pengubaian yang juga meminta identitasnya untuk tidak disebutkan. Air sumur yang bercampur air laut tersebut terjadi sejak beberapa tahun terakhir sejak sejumlah perusahaan tambak udang beroperasi di wilayah tersebut.
Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) Desa Pardasuka, Kecamatan Maje, Kabupaten Kaur, Bengkulu, Edi Herlian, saat dijumpai di kediamannya membenarkan banyak keluhan masyarakat dari puluhan desa yang lokasinya berdekatan dengan aktifitas tambak udang.
“Keluhan tersebut sudah kami akomodir kami sampaikan pada pihak perusahaan, pemerintah daerah, DPRD namun hingga sekarang tidak juga ditindaklanjuti. Keluhan tersebut sampai sekarang masih terjadi terutama bau busuk limbah dan matinya ikan di sungai serta banyaknya nyamuk,” sebut Edi.
Dia katakan, warga desanya pernah hendak menggelar unjukrasa menolak aktifitas tambak udang namun pendekatan dilakukan oleh aparat hingga aksi unjukrasa itu dibatalkan.
Pantauan kompas.com sejumlah tambak juga berada di kawasan sempadan pantai seperti tambak di Desa Padang Hangat dan Tebing Rambutan. Di Desa Muara Jaya, Kecamatan Maje juga ditemukan tambak udang masuk dalam kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Way Hawang.
Kewenangan dan Infrastruktur Lemah
Sekretaris Dinas Perikanan Kabupaten Kaur, Roby Antoni, menyatakan dalam catatan pihaknya terdapat 32 tambak udang di Kabupaten Kaur memanjang di sepanjang pesisir daerah itu.
Terdapat 100 hektare kolam efektif. Sementara masih ada 367 hektare kawasan potensi tambak. Disebutkannya dalam satu tahun setidaknya 4.000 ton udang dihasilkan dari Kabupaten Kaur sialnya udang tersebut dikirim ke Provinsi Lampung lalu diekspor artinya Provinsi Bengkulu tidak mendapatkan keuntungan ekspor udang.
“Semua tambak udang di Kabupaten Kaur, Bengkulu, dikirim ke Lampung lalu dikemas lagi selanjutnya ekspor atasnama Provinsi Lampung. Kaur dan Bengkulu tidak mendapat apa-apa,” jelasnya.
Kondisi ini terjadi diakibatkan masih lemahnya infrastruktur terutama pembangkit listrik sebab dibutuhkan tegangan listrik tinggi untuk mengolah lebihlanjut.
Terkait keluhan masyarakat terhadap dampak buruk tambak, Roby Antoni mengemukakan pihaknya hanya menangani sisi perizinan serta administrasi. Sehingga masalah kualitas air laut, monitoring kerusakan terumbu karang, tidak bisa dilakukan pihaknya.
“Kewenangan itu ada pada tingkat provinsi sesuai dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemda. Kami pernah menegur memberikan SP 1 pada perusahaan yang tidak sesuai cara budidaya,” tegasnya.
Menyinggung pelanggaran sempadan pantai, Debi menyebutkan perubahan garis pantai sudah lama terjadi di Kabupaten Kaur sebelum puluhan perusahaan tambak masuk. Terjadi abrasi dan sedimintasi antara 10 meter hingga 18 meter sejak tahun 2006 hingga 2016.
“Itu terjadi sebelum tambak ada. Data itu dihasilkan oleh penelitian Universitas Bengkulu yang dirilis tahun 2017,” ungkap dia.
Saat disinggung soal kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD), Debi mengatakan terhitung 1 Januari 2024 tidak ada lagi PAD dari sektor tambak. “UU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD) Nomor 1 Tahun 2024 dikeluarkan maka PAD tambak udang dihentikan,” beber dia.
Sebelum UU Nomor 1 Tahun 2024 ditetapkan Pemda Kaur mendapatkan PAD dari sector tambak udang sebesar Rp 1 miliar.
Persoalan tambak udang di Kabupaten Kaur ibarat api dalam sekam. Warga terus berupaya mencari keadilan ekonomi, lingkungan hidup yang baik sembari berharap pemerintah dan perusahaan tambak dapat hidup berdampingan. “Kami tidak melarang ada tambak udang, namun kami juga butuh hidup yang baik,” demikian harapan nelayan Kaur.(**)